Rabu, 11 Februari 2009

Kisah...itu

7500 Rupiah

BSM Jakarta, Awal Tahun 2006

Syafi’i, manajer salah satu cabang BSM di Jakarta menatap angka-angka di komputernya dengan cermat. Sejak rekening donasi untuk korban banjir di Jakarta dibuka Desember 2005 lalu, sumbangan berdatangan dari berbagai kalangan, baik perorangan maupun lembaga. Banjir kali ini membenamkan ribuan rumah di Jakarta. Televisi berulangkali menayangkan nasib naas para korban yang tinggal di tempat pengungsian dalam kondisi seadanya, rumah-rumah tersapu arus, orang-orang yang tenggelam, serta tangisan para korban. Sebagai orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab penggalangan dana, Syafi’i rutin memeriksa dana yang masuk setiap hari untuk para korban.

Transferan donasi masuk bervariasi jumlahnya. Dari 30 juta, 1 juta, 800 ribu, 10 juta, 300, hingga 100 ribu. Syafi’i terus mengecek uang yang masuk, hingga tiba-tiba matanya terpaku pada angka Rp.7500. Dahinya mengernyit. Tujuh ribu lima ratus rupiah? Ia penasaran dan mulai membandingkan dengan jumlah lainnya. Tak ada donasi lain yang masuk sekecil itu. Rasa penasarannya makin besar.

Diamatinya kembali angka Rp.7500. Uang itu dikirim atas nama Hamzah beralamat Malang, melalui transfer bank daerah setempat. Syafi’i ingin menuntaskan rasa ingin tahunya. Kenapa donatur tersebut hanya menyumbang Rp7500, tidak kurang dan tidak lebih. Ia putuskan menelepon bank daerah pengirim uang tersebut.

Kota Malang, di sebuah rumah

Hamzah, siswa kelas 3 SD sedang menonton kartun anak-anak saat breaking news seputar banjir Jakarta disiarkan. Tayangan itu menampilkan anak-anak seusianya mengungsi di kelurahan dan masjid, ibu tua yang digendong oleh para relawan ke perahu karet, penduduk yang memilih bertahan di atap rumah, dikepung air dari segala penjuru dan tidak mau mengungsi karena khawatir barang-barang mereka dijarah orang-orang tak bertanggung jawab.

Mata Hamzah berkaca-kaca menatap gambar di layar kaca tersebut. Saat breaking news diakhiri dengan informasi bagi anda yang ingin membantu korban banjir dapat menyalurkannya melalui melalui rekening no. XX, Bank XX’, sebuah ide terbetik dipikirannya.

Hamzah bergegas ke kamar, menyodok-nyodok celengan yang ia simpan di bawah kolong tempat tidur. Setelah ketemu, ia bobol celengan tersebut. Jumlah tabungannya Rp.12.500. Ia kemudian pamit pada mamanya untuk pergi sebentar.

Keluar dari halaman rumah, Hamzah menyeberangi jalan raya. Berlari masuk ke sebuah bank yang tak jauh dari rumahnya.

“Tante, aku mau ikut nyumbang buat korban banjir di Jakarta,” ujar Hamzah di depan kasir. Ia serahkan seluruh tabungannya serta alamat pengiriman uang.

“Adik, kalau mau transfer ada biayanya. Lima ribu rupiah,” kata kasir menjelaskan.

Nggak bisa semuanya Tante?” tanya Hamzah.

Nggak, cuma bisa ditransfer Rp7.500,” jawab kasir.

“Ya udah deh, Tante, kirimin aja. Makasih Tante,” ujar Hamzah meninggalkan bank.

Syafi’i mendengarkan kisah Hamzah dari kasir bank lokal tersebut dengan takjub. Ia ingin berbicara langsung dengan Hamzah, sang donatur cilik berjiwa sosial. Dari bank tersebut, Syafi’i mendapatkan nomor telepon rumah Hamzah.

Syafi’i memutar nomor telepon yang dicatatnya.

“Tutttttt......tutttttt”. Dalam dua kali nada panjang, telepon itu diangkat oleh seseorang di rumah Hamzah. “Assalamualaikum. Saya Syafi’i dari BSM Jakarta,” Syafi’i memperkenalkan diri. “Bank kami menerima donasi untuk korban banjir Jakarta sebesar Rp7500 atas nama Hamzah. Bisa bicara dengan Hamzah?”

“Bapak tidak bisa bertemu Hamzah,” suara serak bercampur tangis menjawab. Saat bersamaan, lelaki penerima telepon itu, ayah Hamzah, sedang mem­bopong mayat anaknya yang bersimbah darah untuk dimandikan. Hamzah ditabrak saat melintasi jalan raya menuju rumahnya, sesaat setelah keluar dari bank.

Syafi’i mendengarkan semuanya dengan pilu. Tujuh ribu lima ratus rupiah bukanlah hitungan matematis yang menunjukkan besar atau kecilnya jumlah uang. Jumlah itu mengajarkan empati seorang anak kecil terhadap orang lain yang ditimpa musibah. Menggugah dan mengilik hati putihnya untuk berbuat sesuatu tanpa peduli ukuran besar atau kecil. Yang terpenting membantu dengan ikhlas.

Tujuh ribu lima ratus rupiah membawa Hamzah bertemu langsung dengan Khalik-nya.

*Cerita ini dikisahkan oleh seorang teman

Tidak ada komentar: